Di sebuah tempat ketika harus menjalani masa kuliah kerja nyata
(KKN) dulu, saya mendapati sebuah desa yang hampir separuh isi
penduduknya adalah laki-laki. Laki-laki yang masih segar. Laki-laki
kuat, laki-laki tua renta plus anak-anak kecil, juga para nenek.
Lalu ke mana perginya para perempuan di desa itu? Desa yang tidak
begitu jauh dari kota Solo itu, sepi ketika siang. Hanya rumah-rumah
megah dengan keramik berkilau ditimpa cahaya matahari. Ketika sore
menjelang malam, para lelaki sibuk berkumpul untuk bermain kartu dan di
beberapa sudut desa, botol-botol minuman berserakan.
Anak-anak kecil tumbuh dalam asuhan nenek. Mereka anak-anak yang
rupanya tetap rindu belaian ibu. Mungkin saja sang nenek tidak bisa
memenuhi kerinduan mereka, sehingga setiap pagi dan sore mereka
berkumpul di tempat KKN untuk sekadar berbagi cerita dan mendapat
pelukan.
Desa itu lumayan besar. Dan berputar dari satu tempat ke tempat lain,
cuma mendatangkan kesimpulan yang membuat miris. Ada yang hilang dari
para lelaki di desa ini. Begitu banyak lelaki, tapi hanya sedikit yang
bekerja. Sawah-sawah mengering tanpa digantikan tanaman lain. Kegiatan
yang sering terlihat adalah suara gitar beradu dengan tawa lepas
menjelang malam.
Saya tidak menemukan sesuatu yang harusnya dimiliki oleh para lelaki.
Kebanggaan untuk sanggup bekerja keras demi cinta pada anak dan istri.
Kemampuan untuk mengoptimalkan seluruh potensi dirinya sehingga ia bisa
bangga dan berharga di mata orang lain. Kebanggaan itu bernama "harga
diri".
Karena harga diri itu hilang dari lelaki, maka para perempuan mengambil
inisiatif untuk bekerja dan menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Para
perempuan hebat itu menitipkan anak-anak mereka pada para suami. Lalu
memberikan sebagian besar uang gaji mereka dan menyisakan sedikit saja
untuk mereka gunakan untuk membeli pulsa agar bisa menghubungi anak dan
suami. Tapi hasil yang didapat adalah perselingkuhan. Lalu uang kiriman
tidak memiliki bentuk lagi selain utang yang bertumpuk.
Perceraian menempati porsi tertinggi di desa itu. Rumah-rumah megah
mereka kosong tanpa penghuni. Sepanjang siang ketika melewati dan
berkeliling di desa, terasa sekali bahwa tidak ada ceria kehidupan di
dalamnya. Ajaibnya persoalan itu tetap sama hingga saat ini, setelah
belasan tahun berlalu.
Para pahlawan devisa berjuang keras di negeri orang. Negeri yang tidak
mereka kenal dengan orang-orang yang tidak mereka kenal membuat mereka
memiliki dua pilihan. Menjadi tangguh atau ikut putaran arus kehidupan
di negeri orang. Beberapa sahabat pekerja di luar negeri, bercerita
tentang rumah tangga mereka yang hancur karena suami mereka selingkuh.
Mimpi mereka tentu saja kembali ke tanah air. Tapi kembali ke tanah air
tentu bukanlah hal yang mudah bila keahlian tidak mereka miliki. Karena
itu mereka mencoba kreativitas dengan menulis.
Susah?
Jelas.
Seorang teman mengatakan bahwa untuk memiliki laptop saja pun harus
meminta izin sang majikan. Setiap hari ia harus berada di dalam rumah
dan satu-satunya jalan agar ia bisa berada di luar rumah adalah ketika
ia membuang sampah di luar rumah.
Saya salut, sebab mereka memiliki harga diri yang tinggi. Karena dalam
kondisi yang terjepit seperti itu, bisa saja mereka melakukan hal-hal
lain demi mendapatkan uang. Tapi mereka mau merangkak dari bawah untuk
mencoba keahlian baru, seperti menulis.
Harga Diri dan Malu
Beberapa tahun belakangan ini saya fokus memberikan materi penulisan di
dunia maya. Sebagian besar para ibu rumah tangga yang ingin ingin
menjadi penulis. Beberapa di antara mereka juga terdapat para wanita di
Taiwan yang bekerja sebagai buruh migran.
Perjuangan seorang ibu rumah tangga untuk menulis berat. Karena
kegiatan rumah tangga juga tidak pernah berhenti. Dan kebanyakan dari
mereka juga memiliki bisnis lain yang dijalankan dari rumah. Tapi toh
mereka tidak patah semangat. Karena mereka tidak ingin hanya
mengandalkan suami lalu memberatkan kepala rumah tangga dengan beban
ekonomi yang terus meningkat.
Perjuangan para buruh migran untuk menulis juga berat. Dan lebih
hebatnya lagi mereka tidak mengotori perjuangan mereka dengan tulisan
yang akan menjatuhkan karier yang sedang mereka rintis. Bahkan mereka
gigih berjuang keras untuk menembus penerbit besar dan media besar.
Sering saya tidak menemukan hal itu di dunia penulisan yang semakin
lama semakin penuh intrik. Satu penulis mencuri ide penulis lainnya.
Bahkan satu film yang tengah beredar di bioskop adalah film yang diambil
dari sebuah novel yang penulisnya sendiri bahkan tidak pernah tahu.
Ada sebuah cerita tentang seorang penulis yang tiba-tiba begitu
seringnya muncul di komunitas penulisan dan memberikan kabar tentang
tulisannya yang dimuat di majalah atau harian ternama. Sebuah prestasi
yang membanggakan tentu saja. Sayangnya, sesuatu yang membanggakan itu
harus hancur dengan cepat. Karena ternyata setelah itu terbuka semua
topengnya. Tulisan atas namanya di banyak media itu ternyata adalah
tulisan hasil karya penulis lain di media lain pada tahun-tahun
sebelumnya. Ia tulis ulang, mengganti tokohnya lalu mengganti judulnya
juga mengganti nama penulisnya menjadi namanya. Kariernya langsung
hancur pada saat itu juga. Namanya tidak pernah ditemukan lagi di media.
Pelajaran yang saya dapat adalah bahwa bila harga diri dan malu
tidak ditempatkan pada posisi pertama dalam hidup ini, semuanya menjadi
tidak terkendali dan menghancurkan diri sendiri.
Sebatang Pohon Jambu
Pelajaran tentang harga diri justru saya dapatkan dari tanaman-tanaman
yang sengaja saya tanam di depan rumah. Juga dari kucing-kucing liar
yang datang silih berganti ke rumah tanpa pernah dipelihara.
Kucing-kucing liar punya harga diri yang tinggi. Sebelum menitipkan
anak-anak mereka di teras rumah, mereka membawakan hadiah berupa tikus,
makanan kesayangan mereka. Dicari dengan kesungguhan hati, lalu
diberikan untuk saya. Diletakkan di teras rumah agar saya bisa
melihatnya dengan cepat.
Hadiah itu merupakan suatu bentuk terima kasih dari seekor kucing yang
memiliki harga diri. Bahwa ia tidak pantas menaruh anak-anaknya di rumah
seseorang jika belum memberikan sesuatu yang berharga untuk si pemilik
rumah.
Sebatang pohon jambu yang saya tanam sejak dari biji kini menjulang
besar, juga mengajarkan tentang harga diri sebagai sebuah pohon.
Bertahun-tahun kami menunggu buahnya, membandingkannya dengan
pohon-pohon jambu lain, lalu berniat juga menebangnya dan menggantinya
dengan pohon buah lain.
Pada suatu saat, justru ketika kami sudah tidak mengharapkan ia
berbuah, angin menjatuhkan bakal buahnya di kaki saya. Lalu tidak lama
kemudian bakal-bakal buah lain menyusul banyak bermunculan.
Saya melihatnya sebagai suatu yang berbeda. Bukan karena memang
sebatang jambu harus berbuah. Tapi karena sebuah pohoh jambu pun punya
harga diri. Harga diri yang ingin ia tunjukkan bahwa ia belum layak
digantikan karena itu ia berusaha keras untuk mengoptimalkan diri dan
menghasilkan buah-buah seperti yang kami harapkan.
Lalu, bagaimana dengan harga diri kita sendiri?
___
Penulis adalah peraih IKAPI IBF Award 2012. Penulis 25 buku dan
1000 tulisan lainnya. Artikel di atas diambil dari tulisan beliau di
majalah motivasi LuarBiasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar