Selasa, 26 Januari 2016

Mengalah Bukan Berarti Kalah

Mengalah tak berarti kalah. Mundur bukan berarti tak berani bertempur. Ungkapan tersebut barangkali sering membuat kita bimbang. Sebab, kadang ungkapan “pengecut” segera muncul akibat kita memutuskan mundur sejenak. Padahal, ada kalanya, mundur sebenarnya sedang mempersiapkan langkah terbaik untuk maju ke depan. Layaknya anak panah yang ditarik ke belakang, justru siap meluncur dengan cepat menuju sasaran.

Untuk itu, jika menghadapi kebimbangan dalam mengambil sebuah keputusan—apakah akan mundur atau mengalah—mungkin tulisan serta cerita berikut bisa kita jadikan pembelajaran bersama.

Dikisahkan, ada seorang bernama Zhang yang mempunyai dua orang putra yang punya watak berlawanan. Yang pertama adalah Zhang Da yang cenderung tamak, dan Zhang Er yang punya sikap suka mengalah. Zhang Er punya prinsip, yang penting bahagia dan hidup harus mengutamakan perdamaian. Karena itu, ketika orangtuanya Zhang meninggal dunia dan harta warisan sang ayah lebih banyak didominasi oleh kakaknya, Zhang Da, ia mengalah. Ia hanya berkata, “Jangan sampai karena masalah harta warisan yang sepele, merusak hubungan persaudaraan.”

Dengan kondisi tersebut, Zhang Da berkembang jadi saudagar kaya. Banyak penduduk desa yang bekerja padanya, meski sebenarnya kurang suka dengan sikapnya. Sedangkan adiknya hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja. Namun, karena perangainya yang baik, sang adik disukai oleh banyak orang.

Suatu kali, penduduk desa ingin membangun jalan raya yang menghubungkan desa mereka dengan kota untuk mempermudah penjualan barang-barang hasil desa. Namun, agar jalannya tak berkelok, jalan tersebut harus melalui ladang milik Zhang Da. Karena tamak, ia mau memberikan tanah dengan syarat siapa pun yang lewat harus memberikan sebagian besar pendapatannya pada Zhang Da karena dianggap sudah mengurangi hasil ladangnya yang akan diubah jadi jalan.

Penduduk desa tak mau mengikuti syarat tersebut. Beruntung, Zhang Er yang baik hati mau memberikan tanahnya untuk dipakai. Warisannya yang tak seberapa, diberikan kepada penduduk desa dengan cuma-cuma. Dan, meski agak sedikit berbelok, hal itu tetap sangat membantu penduduk desa sehingga mereka lebih mudah menjual dagangannya. Jalan itu pun makin ramai. Dan, karena tanah itu milik Zhang Er, ia pun mendirikan sebuah kedai teh di sana. Lama-lama, saking ramainya jalan, kedai teh Zhang Er pun makin ramai hingga kedainya berkembang dan ia pun akhirnya jadi saudagar kaya. Sebaliknya, sang kakak, Zhang Da, tak ada lagi penduduk yang mau bekerja dengannya. Akibatnya, ladangnya pun berakhir terlantar sehingga makin lama ia menjadi miskin.


Kisah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak sekali hal, yang secara sepintas terlihat merugikan, tetapi sebenarnya akan ada hasil yang baik di belakangnya. Memang, acap kali kita harus berkorban. Tak jarang kita harus mengalami banyak kegagalan. Namun jika kita mampu bersabar, layaknya Zhang Er, apa yang kita “investasikan”—meski terkesan merugi pada awalnya—bisa menjadi “tumbuhan dengan buah lebat” yang bisa kita petik setiap hari.

Mari, hidup dengan bersahaja. Jangan sampai kita mencontoh Zhang Da yang tamak. Meski tampak menguntungkan, jika dilakukan dengan cara-cara yang negatif, suatu kali pasti akan datang “balasan”. Sebaliknya, mari teladani sikap Zhang Er, yang mengalah, namun ujungnya banyak mendatangkan berkah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar